Maqamat
Secara
harfiah maqamat berasal dari bahasa
arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya
digunakam untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang
sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages
yang berarti tangga.
Tentang
berapa jumlah tangga/maqamat banyak para ahli berbeda pendapat. Muhammad al-Kalabazy
dalam kitabnya al-ta’arruf li Mazhab ahl
al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa
maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah.
Sementara
itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’
menyebutkan jumlah muqamat hanya enam, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, al-ridla, dan al-wara’.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum
al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-tawadlu’, al-tawakkal, al-ridla,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah.
Kutipan
tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,
namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-wara, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah oleh
mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut
terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah
dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat,
dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud
rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan
dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr,
al-wara, al-tawakkal, dan al-ridla.
Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut.
1. Al-Zuhud
Secara
harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud
artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya
al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara ulama berbeda pendapat dalam mengartiakan
zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud didalam
masalah haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan
Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia
bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada
pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu
kewajiban.
Zuhud
termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan
diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau
mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar
kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu.
2. Al-Taubah
Al-Taubah
berasal dari bahasa arab taba, yatubu,
taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan
sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang
sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai
dengan amal kebajikan. Harun Nasution mengatakan, taubat yang dimaksud sufi
ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi.
Selanjutnya
dalam bukunya, kunci memahami ilmu
tasawuf, Mustafa Zahri menyebut taubat berbarengan dengan istighfar
(memohon ampun). Bagi orang awam taubat cukup dengan membaca astaghfirullah wa
atubu ilahi (aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya) sebanyak 70 kali
sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan mengadakan riadah
(latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang
membatasi diri dengan Tuhan.
3. Al-Wara’
Secara
harfiah al-Wara’ artinya saleh,
menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dan dalam pengertian sufi al-wara’ adalah
meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keraguan antara halal dan haram
(syubhat).
4. Kefakiran
Secara
harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada
diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
5. Sabar
Secara
harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi
tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya
berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atha mengatakan
sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan
pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan
tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibn Usman al-Hairi mengatakan, sabar adalah orang
yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan.
Di
kalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah
Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala
percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu
datangnya pertolongan Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak
menunggu-nunggu datangnya peertolongan.
Menurut
Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala
yang kedudukannya lebih tinggi dari jasad. Hal ini menunjukkan bahwa sabar
sangat memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
6. Tawakkal
Secara
harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa
awalnya tawakkal adalah apabila seseorang hamba di hadapan Allah seperti
bangkai dihadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang
memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan
tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Pengertian
tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution.
Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Selamanya dalam keadaan tentram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika
mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan.
7. Kerelaan
Secara
harfiah Ridla artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridla
berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Tuhan. Menerima qada dan
qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang
tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan
tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya qada dan
qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qada dan qadar, malahan
perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bala’ (cobaan yang berat).
Beberapa sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya
merupakan akhlak yang mulia. Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah
lebih dahulu membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasinya dengan
akhlak mulia. Hal yang demikian identik dengan proses takhalli yaitu
membersihkan diri dari sifat yang buruk dengan taubat dan menghiasi diri dengan
sifat yang baik, dan hal ini disebut dengan istilah tahalli, sebagaimana
dikemukakan dengan tasawuf akhlaki.
sumber : buku Akhlak Tasawuf karya Abudin Nata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar